Friday 2 May 2014

Ilmu Tauhid, Uluhiyyah, Rububiyyah, asma wa sifat

Istilah Ilmu Tauhid berasal dari Iman, yang menjadi salah satu sumber (asal) ajaran agama Islam (Iman, Islam dan Ihsan). Iman bermakna kepercayaan, Islam berarti berserah diri dalam aturan Allah, dan dengan Ihsan mempercantik jiwa dalam beribadah (selalu merasa melihat Allah atau Allah melihat kita).
Pada masa Rasul belum terbentuk formula ketiga ilmu tersebut,[1] ajaran Islam hanya dalam dalam bentuk praktis. Hingga pada masa tabi’it tabi’in barulah umat membutuhkan formula keilmuannya.[2] Pada masa abad ke-3 lahir ilmu tauhid sebagai pengembangan dari ajaran Iman.
Kemudian selain itu para Ulama-ulama banyak membahas secara intensif ajaran Iman, Islam, dan Ihsan. Ada pula yang membahas secara langsung melalui sumbernya seperti Ilmu Tafsir dan Ulumul Hadits serta mushthalahnya. Dari perkembangan kondisi umat saat itu lahir pula Ilmu Tauhid yang juga dinamakan Ushuluddin (pokok-pokok agama), atau Ilmu Kalam. Imam Abu Hanifah menyebutnya dengan Fiqhul Akbar.

Yang paling pokok dari ajaran Tauhid adalah mengesakan Allah, meski di dalamnya membahas pokok lainnya seperti Rasul, Hari Akhir. Mempelajari Ilmu Tauhid hukumnya Fardhu Ain.
Ilmu mentauhidkan Allah dibagi menjadi 3 wilayah (dimensi).
1.       Pertama, mentauhidkan Allah dalam dimensi Uluhiyyah. Uluhiyyah diambil dari kata إِلٰه Ilah (sembahan), artinya yang diibadahi, dan pengertian selanjutnya berarti yang ditaati.
Tauhid Uluhiyyah mengandung pengertian mengesakan Allah bahwa Allah adalah satu-satunya yang haq untuk disembah, kemudian ditaati.
Yang disebut menyembah dan beribadah adalah sebagai bentuk tunduk kepada Allah. Seluruh ibadah harus ditujukan kepada Allah. Misalnya ketika datang ke masjid (ingin menunaikan sholat), dimaksudkan untuk memenuhi panggilan-Nya.
Yang disebut ikhlas kepada Allah bukanlah semata-mata ibadah yang dikhususkan kepada Allah tanpa niat lainnya. Maksudnya apabila ada niat-niat yang baik lain dalam pandangan Allah hal itu merupakan bagian amal yang ikhlas. Misalnya berada di masjid dalam rangka menuntut ilmu dengan niat menghilangkan kebodohan, bersilaturahim, i’tikaf di masjid, maka niat-niat itu merupakan bagian dari amaliyyah yang diperintahkan dan bisa menjadi bagian dari niat utama ibadah kepada Allah.
Niat ‘mudah-mudahan dengan duduk di masjid ini keluarga diberkahkan rizqinya’ merupakan di antara niat baik yang menginduk kepada keikhlasan kepada Allah. Jika niatnya ditujukan kepada selain Allah dan tidak baik di sisi Allah maka hancurlah ibadahnya itu. Misalnya ke masjid agar dipandang mulia dalam pandangan manusia, melaksanakan ibadah haji/umroh untuk menaikkan status sosialnya, dan lain-lain.
Itulah kajian Tauhid Uluhiyyah, mengesakan Allah dari dimensi sembahan (Allah satu-satunya sembahan), Allah yang diibadahi.
Permasalahan lainnya apakah mentaati selain Allah dikatakan sebagai syirik? Maksud mentauhidkan Allah dari sisi Uluhiyyah adalah hakikatnya (i’tibar atau ta’alluq haqiqiyyah). Allah mengajarkan kepada manusia membangun ketaatan, misalnya anak taat kepada orang tuanya, istri taat kepada suami, rakyat kepada pemimpinnya. Dalam ilmu Tauhid ketaatan ini disebut ketaatan majaziyyah. Taat tersebut bersifat lahiriyyah saja, tapi hakikatnya kepada Allah.
Jelasnya, Ibadah, taat, ta’zhim kepada Allah bersifat hakikat, sedangkan perintah taat kepada sesama makhluk bersifat majaziyyah.
2.       Kedua, mentauhidkan Allah dalam dimensi Rububiyyah, bahwa Allah satu-satunya yang mencipta, mengurus, memelihara. Tidak hanya bumi dan langit, meja, kursi, mobil, semuanya diciptakan Allah (secara hakikat). Secara majazi yang menciptakan meja, kursi, mobil adalah manusia. Disebut majazi, karena apabila dicabut ruh, tenaga atau ilmunya tidak akan mampu membuatnya. Manusia bisa mencipta atau memelihara tapi bersifat majaziyyah.
Dalam Al-Quran disebutkan peran beberapa malaikat yang hebat sehingga Allah bersumpah dengannya,
Demi  yang mencabut dengan keras,
dan yang mencabut dengan lemah-lembut,
dan yang turun dari langit dengan cepat,
dan yang mendahului dengan kencang,
dan yang mengatur urusan.
(Q.S. An-Nazi’at: 1-5)
Malaikat yang mencabut nyawa dan pengatur bersifat majazi pula.
3.       Ketiga, mentauhidkan Allah melalui Sifat-sifat-Nya. Misalnya الرَّحْمٰن Ar-Rahman, yang mengasihnya Allah bersifat mutlak, memiliki kekuasaan yang penuh, tidak terbatas. Manusia memiliki sifat pengasih pula, tapi muqayyad (terbatas). Dalam keadaan bangkrut manusia tidak bisa mengasihi.
الرَّحِيْم Ar-Rahim Allah bersifat mutlak. Manusia menyayangi bersifat terbatas, pada waktu dan kondisi tertentu.
Allah اَلْغَفُوْرُ Al-Ghofur, Pengampun. Ada seorang yang sejak baligh hingga usia 62 tahun melakukan dosa dan kezhaliman, kemudian dalam satu tahun ia bertaubat dan mengisi sisa umurnya dengan kebaikan dan ibadah. Maka turunlah ampunan Allah itu, menghapus keburukan umur di tahun-tahun sebelumnya. Manusia memiliki keterbatasan dalam mengampuni seseorang.
اَلْقَهَّارُ Al-Qohhar, Sang Pemaksa. Memaksanya tanpa batas (mutlak). Jika sudah datang sifat Al-Qohhar, jagad raya pun hancur. Manusia terbatas memaksa. Mahkamah Konstitusi dapat memaksa dengan membatalkan UU, tapi sifatnya muqoyyad, karena tidak bisa menetapkan UU di luar negeri. Orang tua bisa memaksa anaknya tapi tidak orang lain. Pemimpin lokal tidak bisa memaksa di luar bawahannya.
Demikian pula sifat Allah yang diberikan kepada Rasul berupa  رَؤُوْفٌ رَّحِيْمٌRo-uuf dan Rohiim [belas kasih dan penyayang].[3]  Sifat Ro-uuf dan Rohiim yang ada pada diri Nabi sebagai makhluk adalah muqoyyad (terbatas) tapi Allah tak terbatas dalam sifat tersebut.

Sumber: Pengajian Shubuh Ramadhan, 16 Juli 2013


[1] Metodologi ilmu Tauhid belum dikenal pada masa Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya melainkan baru dikenal pada masa setelahnya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu muncul dan setelah orang banyak suka membicarakan alam ghaib atau metafisika.
[2] Lahirnya Ilmu Tauhid menurut sejarawan dipengaruhi faktor internal dan eksternal. Yang amat terkenal adalah pengaruh sosio-politik yang berkembang pada masa itu yang melahirkan kelompok-kelompok yang memiliki faham-faham berbeda tentang masalah Tauhid, seperti Mu’tazilah, Jabbariyyah, Qadariyyah, dan lainnya.
[3] Q.S. At-Taubah: 128

No comments:

Post a Comment